Sabut

Aih, tak terasa ternyata sudah beberapa hari saya tidak menulis di blog ini. Ketika saya membuka blog tadi, saya harus meniup terlebih dahulu debu-debu yang mengendap di permukaan blog ini. Miris memang, entah apa yang terjadi pada saya. Biasanya paling tidak dua hari sekali saya memperbahaharui tulisan di blog.

Ah, sudahlah. Terkadang kita memang membutuhkan masa-masa jeda. Saat di mana kita bisa memaknai kembali kehadiran kita, saat kita mempunyai kesempatan berdialog dengan hati yang teracuhkan. Bukankah demikian sahabat?

Bagi saya, kehidupan tidak ubahnya seperti mengupas sabut kelapa. Butuh perjuangan untuk membersihkan sang batok dari sabut yang menutupinya. Akan tetapi ketika sabut berhasil kita sisihkan dan batok tanpa ampun terbelah di tangan kita, maka kesegaran air kelapa segera membasuh kerongkongan yang dahaga. Namun terkadang, banyak yang tidak mempercayai kemampuan kita untuk mengupas sabut tersebut. Menganggap remeh lah kiranya.

Begitupula kehidupan. Tak dipungkiri banyak kesulitan yang mesti kita hadapi dalam kehidupan ini. Masalah-masalah yang seolah-olah tak kunjung selesai, tanggung jawab yang tak tertunaikan, hingga pekerjaan yang mencekik waktu. Namun saat semua kendala tersebut tuntas kita tangani, tentu kepuasan pula yang kita reguk. Kepuasan yang tak ternilai harganya dibanding kita hanya berusaha menghindari problematika tersebut.

Sama seperti mengupas sabut kelapa pula, terkadang banyak yang meragukan kemampuan kita. Mengolok-olok diri kita, seolah-olah kita ini hanyalah nomor sekian dari prioritas  yang ada. Saya sering mengalaminya.

Kesukaan saya menerima tantangan berupa perlombaan, mungkin sudah tampak sejak kecil. Hanya saja, banyak yang meragukan kemampuan saya saat mengikuti perlombaan yang ada. Contohnya ketika saya masih SMP, saya hanyalah pelengkap untuk mendampingi teman saya yang akan ikut lomba baca puisi. Ketika saya masuk SMA pun begitu. Meski kecintaan saya akan pelajaran Biologi tampak jelas, toh saya tetap lah hanya cadangan kelima saat ikut Olimpiade Sains tingkat SMA. Sama saja dengan sewaktu di perguruan tinggi. Saya bukan lah seseorang yang masuk dalam hitungan saat mengikuti lomba debat.

Sedih pasti terasa karena kita hanya dianggap bidak pelengkap dalam sebuah pertandingan. Tapi saya tidak terlalu mempedulikan tanggapan mereka. Saya hanya perlu mempersiapkan amunisi sebaik-baiknya, berdo’a dan berlatih sebanyak-banyaknya, dan membuat kejutan di akhirnya.

Itulah yang terjadi. Saya yang hanya pelengkap lomba baca puisi justru memenangi lomba tersebut. Guru-guru pun kaget ketika saya yang cadangan kelima malahan lolos seleksi Olimpiade Sains dan berlanjut ke tingkat provinsi (meski akhirnya tersandung di tingkat provinsi). Bahkan dosen saya berkata begini ketika kelompok saya yang tidak diunggulkan lomba debat menang.

“Waktu saya tahu UNP B (kelompok saya) menang. Saya seolah-olah ditegur Tuhan. Saya boleh saja menentukan siapa yang unggul dan memprediksi siapa yang juara, tapi ternyata tetap tangan Tuhan lah yang bekerja.”

Demikianlah sahabat. Dalam kehidupan adalah biasa jika ada orang yang meragukan kemampuan kita. Namun jangan jadikan hal tersebut alasan bagi kita untuk tidak mempersiapkan diri semaksimal mungkin untuk setiap kemungkinan yang ada. Karena hidup itu penuh kejutan, jadi bukan kita lah yang menentukan hasil akhirnya. Cukup nikmati proses yang telah kita lalui tersebut.

Oh, ya tulisan ini tidak ada maksud sama sekali menyombongkan diri atas apa yang saya peroleh. Betapa meruginya jika saya yang hanya setitik debu, berani menyombongkan diri atas nikmat Tuhan yang berlimpah. Saya hanya ingin membuktikan bahwa tiap diri kita sebenarnya istimewa. Mungkin banyak potensi yang tak terealisasi akibat kita terlalu memikirkan omongan orang-orang. Namun buat apa memikirkan omongan mereka? Kitalah yang menjalani hidup kita. Bukan mereka.

“Bersyukurlah akan orang-orang yang mengolok-olokmu. Karena olokan mereka menandakan mereka memperhatikan kita. Karena olokan mereka pula yang akan menjadi tangga pijakan bagi kita menuju tempat yang lebih tinggi.”

31 pemikiran pada “Sabut

  1. Orang yang hobi mengolok-olok menurutku adalah orang yang sombong dan sebenarnya dia tidak terlalu ‘mampu’ untuk mencapai apa yang ia ejek ke orang lain :P.

    Intinya gitu sih memang: yang penting kita percaya pada diri kita sendiri; dan ada aksi real untuk mewujudkan keinginan kita. 😀 Kalau belum mencoba aja sudah loyo hanya karena olokan, yah, memang pantas deh untuk diolok-olok 😛

  2. nice post, lung!
    sayangnya masih banyak orang yg patah arang ketika diolok-olok.
    bukannya jadi pemacu supaya bisa lebih-baik, malah berhenti berusaha.

    kalo kata seorang ustadh terkenal: cukuplah kita sandarkan diri kita pada penilaian Alloh SWT. karena akan capek sekali kalo kita berusaha memenuhi standart manusia dan berusaha supaya dipuji manusia.

  3. Gandi R. Fauzi

    Setujuuuuu,,, Salam kenal kawan, Benar bahwa Jangan pernah terpengaruh omongan ga jelas “syirik”, hehe…

    Boleh tukar Link ga’…??

  4. Ah, aku juga suka menjadi yang bukan menonjol tapi hasilnya maksimal 😀

    btw, daripada mau minum aja perlu narik sabuk, mendingan pake kapak aja langsung bisa dapet airnya lung 😛

  5. Kadang2 yang menonjol itu gak enak.
    Biasanya suka disuruh2 😀
    Tapi gue seneng lo dengan kalimat, “Waktu saya tahu UNP B (kelompok saya) menang. Saya seolah-olah ditegur Tuhan. Saya boleh saja menentukan siapa yang unggul dan memprediksi siapa yang juara, tapi ternyata tetap tangan Tuhan lah yang bekerja.”
    Dalem banget kata2nya 🙂

  6. Duniamimpi

    Ketika kita tidak dianggap, bukan berarti kita tidak mampu.
    Saat kita tidak di anggap inilah kesempatan bagi kita menunjukkan kebolehan …

    smangat bang sulung…

    keep posting

  7. sipp bekerja keras dan berusaha sungguh sungguh… jangan lihat hasil yang didapat, namun kita musti bangga pada prosesnya. Karena yang pasti hasil itu adalah ketentuan Allah, sedangkan usaha itu dari kita sendiri. Semangat!!..

Tinggalkan Balasan ke sulunglahitani Batalkan balasan