[Prompt #15] Refleksi

Daffa begitu terkejut saat seorang wanita tua menariknya pada jam pulang kerja.

“Jas, kamukah itu nak? Amak sudah mencarimu kemana-mana.”

“Apa-apaan ini!? Lepaskan aku!”

Daffa segera menjauh dari ibu aneh tersebut. Nafasnya memburu. Di tempat aman, Daffa melonggarkan ikatan dasinya. Ia takut kalau ibu tadi ingin mencopetnya. Bukankah saat ini begitu banyak cara yang digunakan seseorang untuk mencopet?

***

Sudah beberapa hari ini Daffa perhatikan, si ibu masih saja duduk berselunjur di depan kantornya. Ibu itu selalu menolak tiap seseorang memberikan recehan padanya. “Saya bukan pengemis,” teriaknya lantang.

Daffa tahu, ibu itu selalu mengamatinya dari jauh. Apabila mata mereka tak sengaja bersirobok, maka Daffa bisa melihat bias-bias kerinduan yang meluncur dari mata si ibu. Seperti rasa kehilangan, namun juga seperti penyesalan tanpa dasar.

“Daf, ibu itu masih setia nungguin lu pulang ya?” Steffani membuyarkan lamunannya. Pakaiannya seperti biasa, begitu seronok. Kancing bagian dada sengaja dibuka untuk menunjukkan bagian mengkal miliknya. Sayang, usahanya menggoda Daffa tidak pernah mempan.

“Iya, Stef.”

“Siapa sih tuh ibu, Daf?”

“Mana gua tahu! Kalau gua tahu, ga mungkin gua berusaha menghindarinya kan!?”

***

Dua belas hari, Daffa tak tega membiarkan wanita tua tersebut terus-terusan memerhatikannya dari jauh. Jam pulang kali ini Daffa mendekati si ibu.

“Maaf, Bu. Sebenarnya kenapa Ibu selalu ngeliatin saya dari jauh? Apa saya kenal ibu?”

Wanita di hadapan Daffa tak langsung menjawab. Setelah membetulkan selendang di kepalanya yang sengaja dipasang seperti wanita Melayu, ia menarik lengan Daffa pelan ke bawah. Meminta Daffa duduk di depannya. Mungkin agar ia tak perlu susah mendongak.

“Maafkan sikap Amak yang membuat anak takut. Amak sedang mencari anak Amak yang hilang, saat melihat anak, Amak seperti menemukan anak Amak.”

“Memangnya anak Ibu kenapa?”

“Dia diusir dari kampung, Nak? Dulu anak Amak merantau ke sini, lalu ketika ia pulang kampung ke Padang, tiba-tiba ia mengaku kalau ia mencintai seseorang. Seseorang yang tak sepatutnya ia miliki.”

“Maksudnya?”

Ibu tua terdiam sesaat. Sehelaan nafas, ia bercerita kembali.

“Ia mencintai seorang pria, Nak. Suami Amak dan penduduk yang lain tak bisa menerima. Di ranah Minang, adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah. Anak Amak diusir.

Namun bagaimanapun, ia buah hati Amak. Amak yang melahirkan dan membesarkannya. Amak sengaja datang ke Jakarta untuk mencarinya.”

Si Ibu membuka liontin di lehernya. “Lihat, ini potret anak Amak!”

Daffa terdiam. “Baiklah, Bu. Saya pulang dulu. Semoga Ibu lekas menemukan anak Ibu.”

Daffa meninggalkan ibu tersebut dengan langkah panjang dan berat.

***

“Lu lihat, Jas? Cinta ada di mana-mana. Bahkan untuk orang-orang dengan cap ODHA kaya kita. Ibu lu sampai pergi jauh untuk mencari lu. Sayang, ia terlambat.”

Daffa meletakkan seikat mawar putih di atas nisan di depannya. Tak lupa, ia siramkan sebotol air.

“Dan gua udah menuhin janji buat ga nyeritain soal lu ke siapa-siapa, Jas. Semoga lu tenang di sana.”

Di atas mobil, Daffa menatap refleksi wajahnya di spion. Wajah yang begitu mirip dengan seseorang yang ia rindukan. Wajah yang dulu ia cumbui di setiap malam.

“Gua kangen lu, Jas. Kangen banget.”

Daffa menghapus bulir air yang menetes dari matanya keras-keras. Ia tidak boleh cengeng.

500 kata

22 pemikiran pada “[Prompt #15] Refleksi

  1. Kenapa selalu berkaitan dengan kaum gay ya masalah HIV itu? 😀 Kira-kira umur si Jaz berapa ya? Seorang terinfeksi baru virusnya nyerang sekitar nyaris 8 tahun kan ya? Terus kebetulannya maksa banget kalau menurutku untuk ngetwist di belakangnya mas.

    Salam

    1. ahaha, kepikirannya soal itu sih mas.
      jas dan daffa kan berbeda usia, dan lagi jas sudah lama meninggalkan kampung.
      kalau dibaca baik2, di pertengahan udah disebutkan kok kalau si jas mirip sama di dafa 🙂

Tinggalkan Balasan ke Imam Sujaswanto Batalkan balasan