
Aku menatap jendela di hadapanku dengan pandangan kosong . Aku tak begitu menyukai angin. Angin selalu mengingatkanku pada Kekasih. Bukan, itu bukan panggilan sayang. Namun namanya sesungguhnya, setidaknya begitulah pengakuannya.
“Kalau memang itu bukan namaku, anggap saja aku kekasihmu.”
Matanya mengedip kaku. Persis kedipan saat pertama kami bertemu. Hani yang mengenalkannya padaku. Alasan Hani padaku, “Agar kau tak kesepian lagi.”
Angin kering khas gurun bertiup lembut. Membuat pohon palem di depan jendelaku mengetuk-ngetukkan lengannya lembut. Seperti ketukan lembut berulang Kekasih, ajakan agar aku mau keluar dari rumah. Biasanya, aku menolak. Rumahku terlalu nyaman untuk ditinggalkan. Tapi gerakan-gerakan Kekasih selalu berhasil menyeretku keluar. Aku terkikik melihat sendi-sendi kakunya berderak saat ia mencoba menari. Tariannya tak menghibur, tapi cukup mengobati sepiku.
Lalu Hani mengenalkan si Pirang kepada kami. Bibirku langsung mengerucut. Ia terlalu sempurna sebagai wanita! Belum lagi tingkahnya yang menggoda.
Angin kering bermetamorfosis menjadi badai pasir ganas di luar sana. Seperti hubunganku dengan Kekasih. Aku menampar pipinya yang keras saat kupergoki Pirang mencumbunya. Kurasa cemburuku wajar, mengingat segalanya t’lah kuberikan padanya.
Sewaktu Hani mengajak kami berlibur ke Ruwais-untungnya tanpa ikut serta si Pirang-Kekasih berusaha menjelaskan keadaan sebenarnya. Tapi aku tak peduli. Aku justru meluncurkan sembilu dari bibirku.
“Aku tak ingin lagi bertemu denganmu!” Kekasih langsung terdiam.
Kini, ingin rasanya kutarik kembali ucapanku tersebut. Terlebih saat Kekasih benar-benar hilang. Aku sempat melihat sepotong tangan membekapnya dan menariknya paksa dari kereta yang aku dan Kekasih naiki. Lidahku kelu. Aku terlalu shock sampai-sampai tak kuasa memberitahukan hal tersebut pada Hani. Kini aku begitu merindukan senyum kaku Kekasih. Persis seperti rindunya tanah gurun akan siraman hujan.
Suara-suara langkah kaki berderap di luar kamar, ada yang datang! Aku buru-buru menghapus air mataku.
“Pokoknya Hani ga mau tahu, kita harus menemukannya lagi Ma!”
“Tapi bagaimana cara mencarinya di bandara sebesar itu, Hani?”
“Habis, dia ga mungkin hilang begitu saja kan? Pasti ada yang mengambilnya dari atas troli Hani!”
“Iya, nanti Mama coba hubungi lagi pihak bandara. Siapa tahu pencuri robot-robotanmu bisa ditemukan.”
“Huuh, padahal itu hadiah dari Papa. Lihat, Susan ikut sedih.”
“Ah, kamu ada-ada saja Sayang.”
“Ih, Mama ga percaya. Coba rasain bekas air mata di pipi Susan!”
352 kata
Haduh ternyata cuma mainan, gitu kan ya?
100. hihi
Waduuuh menohok badaiiii
Si Kekasih ini robot-robotan? Terus Susan itu si Pirang dan dia boneka Barbie? Gitu? Si “aku” ini ibunya Hani? Terus si “aku” suka sama robot-robotan? Aduh, aku bingung… Tapi ceritanya keren, aku jadi berpikir keras.
emm, kurang tepat mbak. Kekasih itu robot, Pirang itu Barbie, Aku itu boneka Susan. hehe
OH! I SEE! THAT MAKES SENSE! Keren! keren! Ceritanya keren banget!
Antik bgt nama robotnya Mas Sulung 😀
Kekasih itu robot. Pantesan senyumnya kaku ya… hehehe…
ternyata robot yg dicuri he he…#eh nama tokoh FF nya sama dgku, si Hani. 🙂
dramatis sekali… wow… keren pak guru..
imajinatif sekali mas sulung..aku gak nyangka mainan bisa dikemas jd FF seperti ini 😀
ayolah sulung, masa kamu bikin begini aja. twist semacam ini sudah ga menarik lagi…
aah, baik sensei. saya akan berusaha lebih baik lagi. 🙂
huwaaahhh….idenya keren, jadi kek baca Toy Story hohohoho
Wahh Toy Storyyy..
Kerenn ihhh 😀
Toy Story yang dibungkus dalam narasi cinta yang memabukkan mas sulung!
Keren badai nih.
ROBOT…heemmm 🙂
Sekeren ini aja masih disuruh bikin yang lebih keren lagi sama mba La. hihi.. *expert
hihi… keren
Ending-nya gak disangka-sangka Lung, hehehe 😀 . Keren!
Namannya hadiah pastinya sangat berarti ya gan. Cerita yang bikin penasaran …
Wah keren… 😀
Keren selalu bikin twist ending ya di cerpen2nya (y)
sulung selalu ada aja idemu
good luck sultan…. Salam Kangen…