
Lepau Tek Sitar tampak lengang siang ini. Meski matahari menyengat, hanya segelintir orang mengisi bangku-bangku yang disediakan Tek Sitar. Satu diantaranya, Zamroni.
Zamroni sedari tadi mengetuk-ngetuk meja dengan ujung-ujung jari. Di sepantaran matanya, segelas teh telur tinggal separuh. Berkali-kali ia mendecakkan lidah sembari melihat jam tangan. Setelah jeda yang begitu lama, lelaki itu menghabiskan isi gelasnya dengan sekali tegukan. Gelasnya kini hanya berisi buih-buih berwarna kecoklatan. Pada saat itulah orang yang ia tunggu-tunggu datang.
Kutar duduk di depan Zamroni. Kutar melihat ke kiri dan kanan. Setelah merasa tak ada yang memerhatikan mereka berdua, ia mengeluarkan sebentuk benda terbungkus kain putih. Sesudut kain tersebut tampak hangus bekas terbakar.
“Kau yakin benda ini bisa membantuku menghadapi si Kiluih?”
“Tentu saja! Kalau tidak, sudah lamalah aku mati. Tiap ditangkap polisi, aku selalu menerima semburan pistol terlebih dahulu. Jimat ini yang menolongku.”
“Dan tak ada yang perlu kulakukan untuk menebusnya?”
“Tidak, kau cukup memasukkannya ke dalam saku saat menghadapi lawanmu dan jimat ini akan bekerja.”
“Tidak akan meminta tumbal?”
“Aduh, percayalah padaku! Apa aku ini tampak seperti pendusta?”
“Lalu kenapa kau pinjamkan jimat ini cuma-cuma?”
“Anggap saja ungkapan terima kasihku atas bantuanmu saat kita sekolah dulu. Toh kau pasti mengembalikannya setelah tujuanmu tercapai, kan? Bagaimana? Kau mau mencobanya?”
Zamroni membisu. Tatapannya menghunjam bungkusan jimat di atas meja. Kutar tahu, temannya tak kan kuasa menolak. Dendam t’lah membakar Zamroni laksana api membakar kayu. Hatinya bergemeretak tiap mengingat penghinaan Kiluih kepadanya. Berani-beraninya Kiluih mengatakan ibuku lonte!
“Baiklah, kuterima tawaranmu!”
Zamroni memasukkan jimat ke dalam sakunya. Setelah membayar teh telur, ia pun pergi. Kutar menatap punggung Zamroni yang beranjak menjauh. Kutar menyeringai. Gigi-giginya kuning dan membusuk di beberapa bagian.
Tidak. Kau akan membayarnya dengan cara lain, teman.
***
Zamroni masuk ke rumah melalui pintu belakang. Ia tak ingin seisi rumah geger melihat penampilannya. Sepulang dari lepau, ia langsung menemui Kiluih di ladang. Ia sengaja menyulut amarah Kiluih dengan mengatakan keburukan-keburukan keluarganya. Gayung bersambut. Kiluih muntab dan menyerangnya dengan lading.
Dalam kondisi biasa, Zamroni bukanlah tandingan Kiluih yang jago silat. Namun kali ini, tak satu pun serangan Kiluih yang melukainya. Saat Kiluih mulai kehabisan napas, Zamroni melayangkan tinju ke ulu hati Kiluih. Tenaganya seperti berlipat. Kiluih langsung meraung dengan darah yang terpacak dari mulutnya. Zamroni tak kenal ampun. Ditendang dan ditinjunya berkali-kali hingga dada Kiluih tak lagi tampak bergerak.
Zamroni selesai membasuh percikan darah di tubuhnya. Ia menuju kamar untuk bersalin pakaian. Di kamar, betapa terkejutnya Zamroni dengan penglihatannya. Lututnya goyah. Ia segera duduk di kursi yang ia temukan sebelum badannya limbung. Matanya terpancang ke atas dipan.
Di atas dipan, Kutar sedang asyik bersetubuh dengan istrinya. Saat istrinya menoleh, ada bias tak rela terpancar dari matanya. Hati Zamroni menggelegak marah tapi badannya beku. Ia hanya mampu menonton Kutar klimaks di atas tubuh istrinya. Kutar menyeringai. Ah, ya. Zamroni lupa akan seringai-seringai nakal Kutar tiap melihat istrinya sebelum menerima jimat pemberian.
477 kata
Waaaaa… Ini keren baanget Pak guru!
Sukak aku!
“Ia sengaja menyulut amarah Kiluih. Gayung bersambut.”
menyulut dengan apa? ga kebaca gimana Kiluih marah, tau2 gayung bersambut aja.
hehe, iya ya mbak? maksdnya sih dg kata-kata. tapi ga tersampaikan di ceritanya 😀
sudah saya perbaiki, mbak. semoga berkenan 🙂
Ending-nya rasanya agak anti-klimaks menurutku Lung. Rasanya bakal lebih “seru” kalau “bayaran” yg diminta Kutar bukan hanya sekedar “nafsu” begitu aja, hehe 🙂
hmm, begitu ya Zil? 🙂
Nama-namanya unik ya, ceritanya juga keren. 🙂
ceritanya di ranah minang, mbak. makasih 🙂
kirain bayar dengan yang lainnya itu ada hubungannya dengan yang jadi makhluk mistis gitu pas baca Kutar menampilkan giginya yang menguning. tapi seru juga bacanya.
makasih mas ryan, semoga ga pusing bacanya 🙂
ceritanya asik tapi ngerasa kurang gregetnya di bagian ending hehe tapi idenya ini menariiiik sekali 😀
sisa jatah 23 kata masih bisa kok dipakai untuk “membunuh” Kutar. 😉
Setting cerita, nama tokoh, dan isi cerita aku suka, Lung.
Tapi bakal lebih suka kalo si Kutar dimatiin. hehehe
ngeriiiiii T___T
Iyaa Luuuung, si Kutar dimatiiin ajah *pembaca songong* qiqiqiqi
ide ceritanya keren.. bullshit banget kan klo ada bantuan tanpa ada imbalan 😆
salam kenal pak guru 😉
Pak guru ini ceritanya keren…walaupun sebenarnya aku kadang agak keteteran dengan nama karakternya 😀
kirain bakal terjadi sesuatu dengan diri Zamroni..
Pemilihan namanya menyentuh ranah lokal. Saya suka pemilihan nama-nama itu 🙂
“Ia menuju kamar untuk bersalin pakaian” maksudnya berganti pakaian bukan, mas? 🙂
yup 🙂
ngeri juga baca ini pas puasa, hahaha.
nama lakonnya seunik nama penulisnya, salam kenal 😀
salam kenal juga 🙂
Lha… mumpung jimat masih di kantong Zamroni, hajar aja tuh si Kutar wkwkwkwk 😀
tidak minta tumbal? cuma-cuma?
kalau ujug2 kutar menyetubuhi istri zamroni, itu namanya harus bayar juga. iya, memang sudah dibilang ‘kau akan membayar dengan cara lain’. tapi cara bayar seperti ini bisa digugat, ‘loh katanya ga bayar!’
akan lebih halus kalau zamroni hrs segera mengembalikan jimat setelah selesai hajatnya. lalu dia ditangkap polisi. atau ditembak karena melawan. baru kutar menikmati tubuh istri zam…
bayarannya tetap sama, tapi zam ga bisa protes 🙂
angguk-angguk. iya ya, mbak? hehe
epic 🙂
waktu baca dari atas ceritanya seru, idenya juga keren. Hanya, pas kena di ending, rasanya agak aneh, kok istrinya itu mau gitu aja sih disetubuhi? terus Zamroni biasa aja gitu?
itulah sebenarnya tumbal dari jimatitu, mbak 🙂
Numpang menyimak dulu dari awal..
Salam
menurutku sih, FF ini pas Lung 🙂 Ada sebab akibat.