
WARNING
17+
Rindu ngalir dari pancar matamu. Pandangan kita berserobok lalu waktu pun membeku. Kita seolah terlompat ke sumur tua, gelap, tanpa dasar, yang ada hanya kenangan. Lampau tentang kebersamaan kita. Kemudian aku tersenyum. Bukan, berbalas senyum tepatnya.
Langkah menyeret kita ke dalam kafe berbau kecut. Kita pilih tempat di sudut. Segera kubakar sebatang rokok dan kusulut. Tepat saat kau meletakkan pantat, ponselmu berdenyut. Bibirmu memberengut. “Sebentar, dari suamiku.” Kau angkat teleponnya dengan muka bersaput.
“Jadi, bagaimana kabarmu?”
“Selain seorang suami berperut gendut? Kenyataannya aku ibu dua anak.” Kau menunjukkan layar ponselmu. Dua gadis tersenyum manis, mirip denganmu. “Kau sendiri?”
“Seperti yang kau lihat, melayap kemana-mana mencari berita. Makanya, semacam tak percaya bertemu denganmu di sini.”
“Tentu saja. Kau, pemuja kebebasan. Pekerjaan yang tak mengikat adalah pilihanmu. Begitu pula hati, bukan?”
Aku tersenyum hambar, sedikit tersindir dengan kata-katamu yang menusuk.
“Tak usahlah kau sulut kembali api bencimu padaku. Waktu yang tak menakdirkan kita bersama.”
“Oh, ya. Lalu mengapa waktu mempertemukan kita di sini?”
Aku mengendikkan bahu. “Ciri khasnya, mempermainkan kita dalam labirin takdir.”
Kau tertawa remeh. Meneguk bloody marry pesananmu. Lalu meletakkan gelas kuat. Hingga bunyinya membuat waitress melirik ke arah kita.
“Rambutmu, dipotong pendek sekali.”
“Yah, lebih cocok dengan duniaku sekarang. Saat aku harus lari kesana-kemari, rambut seperti ini tak membuatku kerepotan.”
Kau mengangguk. “Tak terlalu buruk. Kau tampak lebih fresh. Aneh rasanya, mengingat kau dulu suka memanjangkan rambut.”
Lalu kau diam dan menatap jendela. Cukup untuk jadikan rokokku tinggal puntung. Kulanjutkan dengan menyesap tequilla dari gelasku. Perlahan, kugeser tanganku mendekati jemarimu. Kau hanya melirik waktu kugenggam tanganmu.
Lambat namun pasti, air mata berkumpul di sudut mata tersebut. Lalu ngalir di pipi halusmu. Segera kuhapus dengan jariku yang lain. Bobol sudah ternyata gundah yang kau simpan.
“Kenapa?” tanyaku.
“Aku merindukan masa itu.”
Aku mengesah. “Kau kan tahu sebabnya kita tak bisa bersama.”
“Aku tahu, tapi aku bisa apa saat tubuh ini ingin kehangatan yang dulu!”
“Kau yakin? Bagaimana dengan anakmu? Suamimu?”
“Kali ini saja.” Rahangmu tampak mengeras setelah kau memutuskannya. Mukamu tampak memerah. Entah pengaruh minuman, entah menahan gairah.
***
Pintu berdebam di belakang kita, tapi kau acuh. Lebih memilih mengejar bibirku. Tanganmu menekan bahuku ke dinding. Aku paham, kau ingin memegang kendali. Kau memang tak berubah.
Lidah kita bertaut dalam desis ciuman. Sesekali, kau berhenti mencumbu untuk mengambil napas. Lalu kembali menyerang bibirku. Kedua tanganku kulai di dinding hotel. Pasrah saat tanganmu yang lain menjambak rambutku hingga tengadah.
Sasaranmu beralih ke leher. Kecupanmu membuat aku merinding. Gigitan kecil yang sesekali kau lakukan, juga buatku merinding. Ah, kau masih gila seperti dulu. Aku tak tahan lagi.
Ganti kudorong tubuhmu ke dinding. Aku membuka satu per satu kancing blusmu. Tak sabar menunggu kejutan di baliknya. Kau pasti merawat tubuhmu dengan baik. Terbukti, meski telah dua anak kau lahirkan, dadamu masih indah membusung.
Tanganku sedikit gemetar menyentuh dadamu. Mengelus perlahan kulit bak pualam. Kubenamkan wajahku saat tanganku sampai di ujung gundukan. Kau memekik tertahan.
Begitu saja, dua tubuh kita telah merapat di atas kasur. Sebelah tanganku anteng di salah satu gundukan, sedang tangan yang lain liar menjelajah. Mencari keindahan lain yang masih kau sembunyikan.
Sementara bibir kita berpagut, tanganmu tak tinggal diam. Mengarah ke tubuh bawahku. Meraba daerah selangkangku. Tubuhku bergidik waktu kau menemukan yang kau cari.
Selanjutnya, tangan kita lebih berperan. Mengaduk-aduk gairah masing-masing. Kita melambung. Lenguh pecah memenuhi langit kamar. Lenguh kepuasan. Lenguh pelepasan. Dari mulutmu, dari mulut kita. Dari vaginamu, dari vagina kita.
Aku memandangi tubuh telanjangmu yang masih separuh terbungkus selimut. Sambil memasang kutang, lamat kubisikkan kalimat yang kugunakan dulu.
“Saat kau terbangun nanti, anggap saja hubungan ini tak pernah ada. Kita hanyalah manusia yang salah memahami cinta.”
Untuk FFEros
Anjrit! *sorry Uda sulung* tapi cerita ini kerennnya bangett..
Saya sudah curiga ini cerita lesbian ketika mereka di restaurant *feeling aja*
Saya suka adegan ranjangnya dan membuat saya bilang anjrit pas sudah main tangan..
Hahahah
Ini bakalan juara.
Ah, makasih Jen. Padahal takut terlalu vulgar, lho. soalnya kadang siswa saya mampir di mari. hihi
aha! aku udah nebak jangan2 dia ini lesbian, gara2 rambut yang dipotong pendek. 😀
tapi ini penceritaannya bagus! sumpah! *lagi dapet inih* :p
hehe. kebetulan lagi ada idenya nih, mbak
Pak Guru…
mbak mel, ini tulisan hasil belajar saya. kata bang Riga mirip sama tulisan mbak Mel. hehe
mosok to… halusan punyamu lho, Pak Guru.
saya masih mencari2 gaya tulisan saya, mbak. mohon bimbingannya. 🙂
ini keren, diksinya paten. tapi….. aku merasa seperti sedang membaca tulisannya Mel. (ooopss). Cara bercerita kisah ini ya, bukan ceritanya itu sendiri. Paling terasa itu pada kalimat pembuka : Rindu ngalir dari pancaran matamu. Yah, kata “ngalir” dan bukannya “mengalir” adalah “khas”-nya Mel. 🙂
iya dong, mas. mbak mel itu guru saya. jadi wajar lah kalau ada gaya yang sang guru yang nyelip dikit-dikit. hehe
baiklahhh… 🙂
aku bukan pakar tp aku boleh komentar kn?hehe
panas lung,, detail sekali yg bagian itu.. twisnya bagus menurutku, soalnya aku nggak nyangka kalau ternyata lesbian..
tapi di sini ada diksi yg gk aku suka.. seperti maaf, p*nt*t sama kut*ng terlalu kasar.. kurasa kalo diganti kata yg lain mungkin jauh lebih enak dibaca.. tp ini masalah selera sepertinya.
sudah itu saja, 🙂
haha, saya cuma menyesuaikan ama cerita sih mbak. berhubung ceritanya agak panas, jadi pilihan kata yang pakai sengaja ga nanggung2. hehe
Aduuuuuhhh…pak guru nakaaaaaalll hihihiihi. Menang nih keknya Lung 😉
waa, sekarang malah gurunya yang nakal. hehe
makasih mbak orin 😉
wah pak guru nih… nggak nyangka endingnya…
Dugaan ke arah lesbiola sih ada. Tapi memang keren banget nih diksimu, Lung 🙂
haaa….. keyen sangat iniiiiih…
*brb keramas*
waa, makasih mas Sigit. *nyodorin sampo*
Berasa lagi baca puisi panjang mas… 😀 keren
Pak sulung, muridnya nunggu diluar 😀
Oh, tidaak. Makanya sengaja saya kasih peringatan, mbak. hihi
lalalla
pusing baca giniannnn
Superkeren, speechless…
Pertengahan, aku jadi horny, Mas…. -_-
Serius….
Diksinya, sastra banget… Gimana sih supaya cerita kita jadi nyastra gini? Aku sudah sering nulis cerita, tapi semuanya jauh dari kesan sastra. 😦
Penokohannya, sepertinta si aku ini cewek yah Mas? Soalnya waktu baca dari awal sampai habis, aku merasa jadi seorang perempuan…. Hahahaha….
emang perempuan si aku, mas. kan di akhir cerita, dia masang kutangnya. haha
keren
Liar dan lucu sih! malah ketawa ngebacanya ngebayangin adegan demi adegannya. pas bagian ini “Pasrah saat tanganmu yang lain menjambak rambutku hingga tengadah”.* ngakak guling2. kerenn 🙂
Keren! ^_^
seetdah, dapat aja cerita gini.. jempol deh..
wooww wooowww..
saya cukup umur gak ya baca ini 😀
Kenapa bisa sehalus dan semulus iniiihhhhhh?????
Ini mah keren Mas, diksinya halus tapi makjleb. kalo soal lesbian aku curiganya pas potong rambut, eh lha kok beneran.. tp teteeepp ini kereennn..
bagusssss bgt
aih, makasiih 🙂