
Seminggu lalu, Pak Pos datang dan memberikan sepucuk surat. Aku sempat membaca alamatnya. Dari tanah Jawa rupanya. Setelah Amak membacanya, mulailah ia sering termenung. Bahkan seringkali sewaktu buang air kecil tengah malam, kupergoki ia masuk ke kamar kosong di lanjar1 ketiga. Aku pernah mencoba menguping, tapi hanya bunyi peti terbuka ditimpali tangisan tertahan Amak yang terdengar.
***
Meskipun matahari begitu terik, aku terus berlari. Ada yang ingin kupastikan. Dari jauh, rumah gadang tampak lengang. Keluargaku sedang pergi baralek2, saat yang tepat untuk mencari tahu.
Setelah membasuh kaki dengan air dari cibuk meriau3, aku segera masuk ke dalam. Mengamati Amak berkali-kali membuatku hapal tempat ia menyimpan kunci. Di dalam kamar kosong, mataku tertumbuk pada peti di sudut ruangan. Kubuka peti, banyak barang-barang usang tapi tidak ada yang aneh. Lalu apa yang membuat Amak sering menangis?
Aku terkejut saat aku secara tak sengaja menyenggol sesuatu yang besar dan menyembul. Astaga! Konde? Tapi, siapa yang pakai konde di rumah ini? Di rumah ini, kaum wanita biasanya menggunakan tengkuluk4, bukan konde! Lalu, siapa?
Tiba-tiba, pintu dikuak dari luar. Aku tak sempat sembunyi.
”Siti, apa yang kamu lakukan? Ba’a5 kok masuk tanpa seizin Amak!”
“Maaf, Mak. Siti cuma mau tahu ba’a kok Amak suko menangis di kamar ini.” Aku menunduk bersalah.
Amak menghela napas. Ia mengambil konde di tanganku. Dengan lembut dibimbingnya aku tidur di pangkuannya.
“Mungkin sudah waktunya Amak bacarito6. Amak sebenarnya bukan asli orang Minang. Amak orang Jawa. Sewaktu menikah dengan abakmu, Ayah Amak tidak setuju. Apalagi begitu tahu kalau Amak diboyong ke Sumatera. Semakin marahlah ia.”
Amak mengelus konde di tangannya dengan lembut.
“Konde ini pemberian ibu Amak. Dulu ia sering memakainya. Surat seminggu lalu mengabarkan kalau ia meninggal. Namun Amak tak punya biaya pulang ke Jawa. Amak merasa begitu bersalah.
Kau tahu Siti? Tiap Amak memeluk konde ini, Amak serasa mencium bau rambutnya. Maka saat itulah Amak seperti melihat sosoknya di hadapan Amak. Seperti nyata tapi tak teraba.”
Kupeluk Amak erat. Kini aku paham kenapa Amak tak pernah menceritakan siapa nenekku.
330 kata
Keterangan:
- Lanjar: Bagian pada rumah gadang.
- Baralek: Pesta pernikahan.
- Cibuk meriau: Batu cekung tempat air pembasuk kaki.
- Tengkuluk: Penutup kepala pada pakaian adat wanita minang.
- Ba’a : kenapa
- Bacarito: bercerita
(EDITED)
Catatan: dalam FF di atas sama sekali ga disebutkan kalau si ibu mewarisi rumah gadang lho, ya. Si ibu hanyalah perempuan Jawa yang menikah dengan pria Minang dan tinggal di rumah gadang.
Selalu enak baca alurnya ceritanya. anda memang berbakat :v
Hah…akhirnya ada ilmu bahasa Minang juga..”Amak sabananyo bukanlah asli orang minang”
*terbius membaca postingan ini*
eh si nenek itu hantu kah?
Wiiih… Keren, Sulung. Berasa bener emosinya. Sukak aku.
swiinggg… merinding pas baca di bagian akhir… gitu itu emang pernah ada ya, arwah bisa ngasih sesuatu ke orang yang masih hidup? 🙂
Wah ada penampakan ibunya Amak.
Waduhhh main arwah nih sulung. Selalu Keren pak guru
waaah, saya serasa ada di Padang!
keren pak guru…ternyata bisa juga dibikin versi padangnya selain versi jawa 😀
sebenarnya bapak orang padang apa orang jawa…? *binun 🙂
lah.. endingnya kok merinding 😀
wah….
keren. dari sebuah konde jadi tulisan keren dan membuat merinding dikit bacanya
Jadi Siti orang Jamin ya… 🙂
haish 😆
oh, tadinya kupikir konde yang dipegang Siti sudah diminta sama Amak
ternyata ada konde lain yang diberikan seorang nenek aka ibunya Amak
good job, Sulung.
Baca ini jadi ingat novel “Ronggeng Dukuh Patuk” sama-sama miriplah alurnya 😀
Salam Mas
weish, keren! pemaksaan yang echo 😀
Nice, penyajian yang apik mas sulung 🙂
Saya selalu menganggap, sebuah cerita yang disisipi unsur dialek dan budaya daerah itu punya sensasi khusus yang membuat saya merasa benar-benar berada di lokasi cerita tersebut. Kalau udah tersedot masuk ke lokasi cerita, atmosfer cerita pun jadi makin terasa, kalau drama, semakin dramatis, kalau romansa, semakin romantis. 🙂
wah! ada arwahnyaaa
Ending-nya keren Lung 🙂 Tapi aku merasa sepertinya bisa dibuat agak lebih dramatis, hmmm…
ini cerita paling mengharukan sekaligus menyeramkan di prompt kali ini! wkwkkwkwkkw
cuman yg bikin ngganjel pas di promptnya aja, kan pake “astaga” tuh ya, jd kayak kaget setengah mati ngeliatnya. kalo aku baca di ff ini, kayaknya “aku” emang kaget, tapi ga segitunya, cuma heran aja kok bisa ada konde di situ. Gitu sih yg aku tangkep.
over all, aku sukak ceritanya! :)))
Selalu suka baca tulisannya Sulung yang masukin unsur budaya minang 😀
ga suka endingnya. pakai gaib gaiban terus ih. :p
rancak bana, uda! hohohoho
Kerennnn 😀
endingnya kurang greget ya lung IMHO
ternyata endingnya horror -___-
bagus sekali pak Guru……penasaran, terharu, merinding, meleleh, semuanya lengkap
Pak Guru? #ngikut yang lain padahal belum kenal, hehe.
Baca ini jadi kangen Simbok di Jawa ;(